Monday 21 November 2016

MAKALAH MODEL PENELITIAN KEAGAMAAN



BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang
Sebenarnya penelitian Agama sudah dilakukan beberapa abad yang lalu namun hasil penelitiannya masih dalam bentuk aktual atau perbuatan saja belum dijadikan sebagai ilmu. Setelah bertambahnya gejala-gejala agama yang berbentuk sosial dan budaya, ternyata penelitian dapat dijadikan sebagai ilmu yang khusus dalam rangka menyelidiki gejala-gejala agama tersebut.
Perkembangan penelitian Agama pada saat ini sangatlah pesat karena tuntutan-tuntutan kehidupan sosial yang selalu mengalami perubahan. Kajian-kajian agama memerluka relevansi dari kehidupan sosial berlangsung, permasalahan-permasalahan seperti inilah yang mendasari perkembangan penelitian-penelitian Agama guna mencari relevansi kehidupan sosial dan agama.
Dewasa ini penelitian Agama diisi dengan penjelasan mengenai kedudukan penelitian Agama dalam konteks penelitian pada umumnya, elaborasi mengenai penelitian Agama dan penelitian keagamaan dan konstruksi teori penelitian keagamaan, dari beberapa penjelasan singkat tersebut maka pemakalah perlu mengkaji secara rinci terhadap penjelasan tersebut.



I.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka muncul beberapa pertanyaan, yaitu:
1. Apa pengertian penelitian Agama dan penelitian keagamaan?
2. Bagaimana perbedaan antara penelitian Agama dan penelitian  keagamaan?
3. Bagaimana Konstruksi teori penelitian keagamaan?
4. Bagaimana bentuk model-model penelitian keagamaan itu?


BAB II
Pembahasan
II.1. Arti penelitian Agama
Penelitian (research) adalah upaya sistematis dan objektif untuk mempelajari suatu masalah dan menemukan prinsip-prinsip umum. Selain itu, penelitian juga berarti upaya pengumpulan informasi yang bertujuan untuk menambah pengetahuan. Pengetahuam manusia tumbuh dan berkembang berdasarkan kajian-kajian sehingga terdapat penemuan-penemuan, sehingga ia siap merevisi pengetahuan-pengetahuan masa lalu melelui penemuan-penemuan baru.
Penelitian dipandang sebagai kegiatan ilmiah karena menggunakan metode keilmuan, yakni gabungan antara pendekatan rasional dan pendekatan empiris. Pendekatan rasional memberikan kerangka pemikiran yang koheren dan logis. Sedangkan pendekatan empiris merupakan kerangka pengujian dalam memastikan kebenaran. Dimana metode ilmiah sendiri adalah usaha untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan kesangsian sistematis.
Menurut David H. Penny, penelitian adalah pemikiran yang sistematis mengenai berbagai jenis masalah yang pemecahannya memerlukan pengumpulan dan penafsiran kata-kata. Di kalangan kaum akademisi dan aktivis sosial khususnya, agama saat ini tidak hanya dipandang sebagai seperangkat ajaran (nilai), dogma atau sesuatu yang bersifat normatif lainnya, tetapi juga dilihat sebagai suatu case study, studi kasus yang menarik bagaimana agama dilihat sebagai obyek kajian untuk diteliti. Dalam perspektif budaya, Agama dilihat bagaimana yang ilahi itu menghistoris (menyejarah) di dalam praktek tafsir dan tindakan sosial. Sehingga dengan demikian agama bukannya sesuatu yang tak tersentuh (untouchable), namun sesuatu yang dapat diobservasi dan dianalisis karena perilaku keberagamaan itu dapat dilihat, dan dirasakan. Terlebih di dalam masyarakat yang agamis seperti Indonesia, yang menempatkan agama sebagai bagian dari identitas keindonesiaan tentu ada banyak problem keagamaan yang menarik untuk diungkap. Kita tidak akan pernah tahu rahasia Agama dan keberAgamaan masyarakat bila kita tidak mampu melakukan penelitian atau kajian, seperti mengapa seseorang itu menjadi sangat militan dengan ajaran agama dan madzhabnya, atau mengapa antar komunitas agama saling berkonflik dan seterusnya.


PETA KONSEP AGAMA

Para ilmuwan sendiri beranggapan bahwa agama juga merupakan objek kajian atau penelitian, karena agama merupakan bagian dari kehidupan sosial kultural. Jadi, penelitian agama bukanlah meneliti hakikat agama dalam arti wahyu, melainkan meneliti manusia yang menghayati, meyakini, dan memperoleh pengaruh dari Agama. Dengan kata lain, penelitian Agama bukan meneliti kebenaran teologi atau filosofi tetapi bagaimana agama itu ada dalam kebudayaan dan sistem sosial berdasarkan fakta atau realitas sosial-kultural. Jadi, kata Ahmad Syafi’i Mufid, kita tidak mempertentangkan antara penelitian Agama dengan penelitian sosial terhadap agama. Dengan demikian kedudukan penelitian Agama adalah sejajar dengan penelitian-penelitian lainnya, yang membedakannya hanyalah objek kajian yang ditelitinya.
Jika penelitian berpijak pada hipotesa, maka tujuan penelitian jelas akan menguji hipotesa. Data digali untuk menguji, bukan membuktikan. Ini jelas sesuai dengan tujuan dari penelitian yakni mencari kebenaran bukan mencari kebenaran.
II.2. Penelitian Agama dan Penelitian KeAgamaan
Menurut M. Atho Mudzhar, beliau menginformasikan bahwa sampai sekarang istilah penelitian Agama dengan penelitian keagamaan belum diberi batasan yang tegas. Penggunaan istilah yang pertama (penelitian Agama) sering juga dimaksudkan mencakup pengertian istilah yang kedua (penelitian keagamaan), dan begitu sebaliknya. Salah satu contoh yang diungkapkan oleh M. Atho Mudzhar adalah pernyataan A. Mukti Ali yang ketika membuka program pelatihan Penelitian Agama (PLPA) menggunakan kedua istilah tersebut dengan arti yang sama.
Middleton, guru besar antroplogi di New York University berpendapat, “penelitian Agama berbeda dengan “penelitian keAgamaan”, yang pertama lebih menekankan pada materi Agama sehingga sasaran pada tiga elemen pokok yaitu: ritus, mitos dan magik. Yang kedua lebih menekankan pada agama sebagai sistem atau sistem keagamaan (religious system). Sedangkan sasaran “penelitian Agama” adalah agama sebagai doktrin sedangkan sasaran penelitian keagamaan adalah agama sebagai gejala sosial. Sampai disini lalu terlihat bahwa batasan pengertian yang ditawarkan Mukti Ali, penelitian Agama sebagai penelitian tentang hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat, terlihat berat sebelah. Sebab definisi justru baru mewakili arti penelitian keagamaan yang lebih bersifat sosiologis dan belum mencerminkan arti penelitian Agama yang lebih bersifat penelitian budaya.
Untuk Penelitian Agama yang sasarannya adalah agama sebagai doktrin, pintu pengembangan metodologi penelitian tersendiri sudah terbuka, bahkan sudah pernah dirintis. Adanya ilmu Ushul Fikih sebagai metode untuk mengistinbatkan hukum dalam agama islam, dan Ilmu Mustalah Hadist sebagai metode untuk menilai akurasi dan kekuatan sabda nabi Muhammad SAW merupakan bukti adanya keinginan untuk mengembangkan metodologi penelitian sendiri, meskipun masih ada perdebatan dikalangan para ahli tentang setuju dan tidaknya terhadap materi kedua ilmu tersebut.
Untuk Penelitian keagamaan yang sasarannya adalah Agama sebagai gejala sosial, tidak perlulah membuat metodologi penelitian tersendiri. Penelitian ini cukup meminjam metodologi penelitian sosial yang telah ada. Memang kemungkinan lahirnya suatu ilmu tidak pernah tertutup, tetapi tujuan peniadaannya adalah agar sesuatu ilmu jangan dibuat secara artifisial karena semangat yang berlebihan.
Dalam pandangan Juhaya S Praja, penelitian Agama adalah penelitian tentang asal-usul Agama, dan pemikiran serta pemahaman penganut ajaran Agama tersebut terhadap ajaran yang terkandung didalamnya. Dengan demikian, jelas juhaya, terdapat dua bidang penelitian Agama, yaitu sebagai berikut:
a. Penelitian tentang sumber ajaran Agama yang telah melahirkan disiplin ilmu tafsir dan ilmu hadist.
b. Pemikiran dan pemahaman terhadap ajaran yang terkandung dalam sumber ajaran Agama itu.
Sedangkan penelitian tentang hidup keagamaan adalah penelitian tentang praktik-praktik ajaran Agama yang dilakukan oleh manusia secara individual dan kolektif. Berdasarkan batasan tersebut, penelitian hidup keagamaan meliputi hal-hal berikut:
a.         Perilaku individu dan hubungannnya dengan masyarakatnya yang didasarkan atas Agama yang dianutnya.
b.        Perilaku masyarakat atau suatu komunitas, baik perilaku politik, budaya maupun yang lainnya yang mendefinisikan dirinya sebagai penganut suatu Agama.
c.         Ajaran Agama yang membentuk pranata sosial, corak perilaku, dan budaya masyarakat beragama.
II.3. Konstruksi teori penelitian keAgamaan
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta Mengartikan konstruksi adalah cara membuat (menyusun) bangunan – bangunan (jembatan dan sebagainya) dan dapat pula berarti susunan dan hubungan kata di kalimat atau di kelompok kata. Sedangkan teori berarti pendapat yang dikemukakan sebagai suatu keterangan mengenai suatu peristiwa (kejadian) dan berarti pula asas-asas dan hukum-hukum umum yang dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan. Selain itu, teori dapat pula berarti pendapat, cara-cara, dan aturan-aturan untuk melakukan sesuatu.


Teori-teori yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
a. Teori perubahan sosial
b. Teori struktural-fungsional
c. Teori antropologi dan sosiologi Agama
d. Teori budaya dan tafsir budaya simbolik
e. Teori pertukaran sosial
f. Teori sikap
Dengan demikian, penelitian diatas meminjam teori-teori yang dibangun dalam ilmu-ilmu sosial. Ia disebut penelitian keagamaan dalam pandangan Middleton atau penelitian hidup Agama dalam pandangan Juhaya S. Praja.
II.4. Model- model Penelitian Keagamaan
Berbagai gejala keagamaan dapat diteliti dengan berbagai bentuk penelitian. Bentuk-bentuk penelitian serta klasifikasi metode penelitian dapat dibedakan berdasarka tujuan penelitian. Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai, penelitian keagamaan dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Penelitian Eksploratif
b. Penelitian Deskriptif
c. Penelitian Historis
d. Penelitian korelasional
e. Penelitian Eksperimen
Adapun model penelitian yang ditampilkan di sini disesuaikan dengan perbedaan antara penelitian Agama dan penelitian keagamaan. Akan tetapi, disini dikutip karya Djamari mengenai metode sosiologi dalam kajian Agama, yang secara tidak langsung memperlihatkan model-model penelitian Agama melalui pendekatan sosiologis. Djamari, dosen pascasarjana IKIP Bandung, menjelaskan bahwa kajian sosiologi Agama menggunakan metode ilmiah. Yaitu:
a. Analisis Sejarah
Dalam hal ini, sejarah hanya sebagai metode analisis atas dasar pemikiran bahwa sejarah dapat menyajikan gambaran tentang unsur-unsur yang mendukung timbulnya suatu lembaga. Pendekatan sejarah bertujuan untuk menemukan inti karakter Agama dengan meneliti sumber klasik sebelum dicampuri yang lain.
Seperti halnya Agama Islam, sejarah mencatat bahwa ia adalah Agama yang diturunkan melalui Nabinya yaitu Muhammad SAW berdasarkan kitab sucinya yaitu Al-Qur’an yang ditulis dalam bahasa arab. Islam diturunkan bukan untuk satu bangsa saja melainkan untuk seluruh bangsa secara universal. Sedangkan Agama lain ada yang hanya diturunkan untuk satu bangsa saja seperti yahudi untuk ras yahudi saja.
Menurut ahli perbandingan Agama seperti A. Mukti Ali, apabila kita ingin memahami sebuah Agama maka kita harus mengidentifikasi lima aspek yaitu konsep ketuhanan, pembawa Agama atau nabi, kitab suci, sejarah Agama, dan tokoh-tokoh terkemuka Agama tersebut.
b. Analisis Lintas Budaya
Dengan membandingkan pola-pola sosial keagamaan di beberapa daerah kebudayaan, sosiolog dapat memperoleh gambaran tentang korelasi unsur budaya tertentu atau kondisi sosiokultural secara umum.
c. Eksperimen
Penelitian yang menggunakan eksperimen agak sulit dilakukan dalam penelitian Agama. Namun, dalam beberapa hal, eksperimen dapat dilakukan dalam penelitian Agama, misalnya untuk mengevaluasi perbedaan hasil belajar dari beberapa model pendidikan Agama.
d. Observasi Partisipatif
Dengan partisipasi dalam kelompok, peneliti dapat mengobservasi perilaku orang-orang dalam konteks religius. Orang yang diobservasi boleh mengetahui bahwa dirinya sedang diobservasi atau secara diam-diam. Diantara kelebihan penelitian adalah memungkinkannya pengamatan simbolik antar anggota kelompok secara mendalam. Adapun salah satu kelemahannya adalah terbatasnya data pada kemampuan observer.
e. Riset Survey dan Analisis Statistik
Penelitian survey dilakukan dengan penyusunan kuesioner, interview dengan sampel dari suatu populasi. Sampel dapat berupa organisasi keagamaan atau penduduk suatu kota atau desa.
f. Analisis Isi
Dengan metode ini, peneliti mencoba mencarai keterangan dari tema-tema Agama, baik berupa tulisan, buku-buku khotbah, doktrin maupun deklarasi teks.

BAB III
PENUTUP

Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan:
1. Penelitian Agama berarti menempatkan Agama sebagi objek penelitian
2. Perbedaan antara penelitian Agama dan keagamaan adalah objek penelitiannya.
Penelitian Agama mengkaji Agama sebagai doktrin sedangkan penelitian keagamaan objek penelitian yang dikaji adalah Agama sebagai gejala sosial.
3. Teori dalam konstruksi penelitian keAgamaan diantaranya Teori perubahan sosial, Teori struktural-fungsional, Teori antropologi dan sosiologi Agama, Teori budaya dan tafsir budaya simbolik, Teori pertukaran sosial, Teori sikap
4. Model-model penelitian keagamaan diantaranya adalah Analisis Sejarah, Analisis Lintas Budaya, Eksperimen, Observasi Partisipatif, Riset Survey dan Analisis Statistik, Analisis Isi
Demikian makalah ini kami susun, kami menyadari bahwa makalah kami masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi tulisan maupun kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan agar menjadi lebih baik kedepannya.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ali, M, Sayuthi, Metodologi Penelitian Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Buchori, Didin Saefuddin, Metodologi Studi Islam, Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005
Hadi, Amirul, Haryono, Metodologi Penelitian Pendidikan, Bandung: Pustaka setia, 1998.
Hakim, Atang Abdul, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999.
Mudzhar, M. Atho, Pendekatan Studi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

MAKALAH FILSAFAT POSITIVISME



BAB I
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang
            Kehidupan kita sekarang ini sudah sangat jauh dari hukum-hukum alam, yang digantikan oleh hukum-hukum buatan manusia sendiri yang sangat egoistis dan mengandung nilai hedonis yang sangat besar, sehingga kita pun merasakan betapa banyaknya bencana yang melanda diri kita. Etika hubungan kita yang humanis dengan tiga kompenen relasional hidup kita sudah terabaikan begitu jauh, jadi jangan harap hidup kita di masa mendatang akan tetap lestari dan berlangsung harmonis dengan alam.
Makalah ini kami susun berdasarkan Tugas Mata Kuliah Filsafat Umum, dengan sub bahasan “ Filsafat Positifisme ”. Makalah ini dititikberatkan pada pemikiran-pemikiran para folosof aliran positivisme.
1.2      Tujuan Pembahasan
            Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memaparkan perkembangan-perkembangan filsafat modern pada saat lahirnya filsafat positifisme. Dan agar pembaca mengetahui seperti apakah pemikiran-pemikiran para filosof yang beraliran positivisme.



1.3     Rumusan Masalah
1.3.1        Bagaimana pemikiran-pemikiran fungsional para filosof positivisme ?
1.3.2        Siapa sajakah tokoh-tokoh dalam filsafat positivisme ?
1.3.3        Bagaimanakah tahapan-tahapan dalam filsafat positivisme ?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Filsafat Positivisme
            Positivisme adalah salah satu aliran filsafat modern yang berpangkal dari fakta yang positif, sesuatu yang di luar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan. Filsafat positivisme lahir pada abad ke-19. Titik tolak pemikirannya, apa yang diketahui adalah yang factual dan yang positif, sehingga metefisikanya ditolak.
            Yang dimaksud dengan positif adalah segala gejala dan segala yabg tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman objektif. Jadi, setelah fakta diperolehnya, fakta-fakta tersebut kita atur sehingga dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.
2.2 Tokoh-Tokoh Filsafat Positivisme
a). Auguste Comte ( 1798 – 1857 )
            Ia adalah orang yang menokohi munculnya aliran positivisme. Ia lahir di Hontpeller, Perancis. Sebuah karya penting “ Cours de Philisophia Positivie “ (Kursur tentang filsafat positif), ini berjasa dalam mencipta ilmu sosiologi. Ia berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoieh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan experiment. Kekeliruan indera akan dapat dikoreksi lewat experiment-experiment memerlukan ukuran yang jelas. Panas diukur dengan derajat panas, jauh diukur dengan meteran, berat dengan kiloan, dsb. Kita tidak cukup mengatakan api panas, matahari panas, kopi panas. Ketika panas kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai.
            Jadi pada dasarnya positifisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme yang bekerja sama. Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah dengan memasukkan experiment dan ukuran-ukuran. Jadi, pada dasarnya positifisame itu sama dengan empirisme plot rasionalisme. Hanya saja, pada empirisme menerima pengalaman batiniyah, sedangkan pada positivisme membatasi pada perjalanan objektif saja.
b). H. Taine ( 1828 – 1893 )
            Ia mendasarkan diri pada positivisme dan ilmu jiwa, sejarah, politik, dan kesastraan.
c). Emile Durkheim ( 1852 – 1917 )
            Ia menganggap positivisme sebagai asas sosiologi.
d). John Stuart Mill ( 1806 – 1873 )
            Ia adalah seorang filosof Inggris yang menggunakan system positivisme pada ilmu jiwa, logika, dan kesusilaan.
2.3 Tahapan-Tahapan pada Positivisme
            Menurut Auguste Comte, perkembangan perkembangan pikiran manusia baik perorangan maupun bangsa melalui 3 tahapan, yaitu tahap teologis, tahap metafisis, dan tahap ilmiah / positif.
a). Tahap Teologis
            Tahap dimana manusia percaya bahwa di belakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrasi yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut.
Tahap Teologis ini dibagi menjadi 3 periode :
  • Periode pertama di mana benda-benda dianggap berjiwa (Animisme)
  • Periode kedua di mana manusia percaya pada dewa-dewa (Politeisme)
  • Periode ketiga manusia percaya pada satu  Alloh sebagai Yang Maha Kuasa (Monoteisme).
b). Tahap Metafisis
Hendak menerangkan segala sesuatu melalui abstraksi. Pada tahap ini manusia hanya sebagai tujuan pergeseran dari tahap teologis. Sifat yang khas adalah kekuatan yang terjadi bersifat adikodrasi, diganti dengan kekuatan-kekuatan yang mempunyai pengertian abstrak yang diintrogasikan dengan alam.
c). Tahap Ilmiah / Positif
Yaitu ketika orang tidaklagi berusaha mencapai pengetahuan yang mutlak baik teologis maupun metafisis. Sekarang orang berusaha mendapatkan hukum-hukum dari fakta-fakta yang didapati dari pengamatan dan akalnya. Tujuan tertinggi dari zaman ini akan tercapai bilamana gejala-gejala telah dapat disusun dan diatur di baeah satu fakta yang umum saja.
Hukum 3 tahap ini tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi tahap perorangan. Umpamanya sebagai kanak-kanak adalah teologi, sebagai pemuda menjadi metafisis, dan sebagai seorang dewasa adalah seorang fisikus.
Urutan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan tersusun sedemikian rupa, sehingga yang satu selalu mengandalkan semua ilmu yang mendahuluinya. Dengan demikian Comte menempatkan deretan ilmu pengetahuan dengan urutan sebagai berikut : ilmu pasti, astronomi, fisika, bioligi, dan sosiologi.
Auguste Comte berkayakinan bahwa pengetahuan manusia melewati tiga tahapan sejarah :
*      Pertama, Tahapan Agama dan Ketuhanan
Pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan.
*      Tahapan kedua adalah Tahapan Filsafat
Menjelaskan fenomena-fenomena dengan pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiolen, esensi dan akstensi.
*      Positifisme sebagai tahapan ketiga
Menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada hakikatnya Positifisme adalah salah satu aliran filsafat modern yang berpangkal dari fakta yang positif. Di negeri Perancis, telah muncul aliran baru, yaitu "positivisme", yang ditikohi oleh Auguste Comte (1798 – 1857).  Menurut Comte, jiwa dan budi adalah basis dari teraturnya masyarakat. Maka, jiwa dan budi haruslah mendapatkan pendidikan yang cukup dan matang. Dikatakan bahwa sekarang ini sudah masanya harus hidup dengan pengabdioan ilmu yang positif, yaitu matematika, fisika, biologi, dan ilmu kemasyarakatan. Adapun yang tidak positif tidak dapat kita alami, dan sebaliknya orang bersikap tidak tahu menahu.
            Adapun budi itu mengalami tiga tingkatan. Tingkatan pertama adalah tingkatan teologi, yang menerangkan segala sesuatu dengan pengaruh-pengaruh dan sebab-sebab yang melebihi kodrat; tingkatan kedua adalah tingkatan metafisika, yang hendak menerangkan segala sesuatu melalui abstraksi; tingkatan ketiga adalah tingkatan positif, yang hanya memperhatikan yang sungguh-sungguh serta sebab yang sudah ditentukan.
Tokoh-tokoh dalam positivisme antara lain adalah H.Taine (1828 – 1893), yang mendasarkan diri pada positivisme dan ilmu jiwa, sejarah, politik dan kesastraan.



DAFTAR PUSTAKA

 Ahmadi, Asmoro. 1995. Filsafat Umum. Jakarta : Raja Grafindo Perkasa
 Bagus, Lorens. 1991. Metafisika. Jakarta : Gramedia
 Bertens, K. 1973. Sejarah Filsafat Yunani. Jakarta : Kanisius
 Suhartoni, Suparlan. 2005. Sejarah Pemikiran Filsafat Modern. Jogjakarta : Ar-Ruzz
 http://staff.blog.ac.id